Sabtu, 09 April 2011

Makalah Jual Beli

KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas pertolongan dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyalesaikan makalah yang berjudul “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”. Yang sudah menjadi tugas mandiri penulis yang sebelumnya sudah ditentukan oleh Bapak M. Syahrial, M.Sh selaku dosen pada mata kuliah Fiqih Muamalat I.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang bagaimana bertransaksi pada jual beli yang dibenarkan dalam syariat Islam. Termasuk di antaranya adalah rukun, akad (ijab Kabul), hukum jual beli, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kasus jual beli.
Kewajiban dalam mengetahui hukum jual beli memang menjadi tolak ukur bagi kita, terlebih kita bakal menjadi seorang ekonom yang islam. Banyak sekali penjual dan pembeli yang kurang memahami akan hukum dari transaksi jual beli di pasar.
Untuk itu, kita yang mempelajarinya haruslah pula menerapkannya kepada saudara-saudara kita yang belum memahaminya. Karena Rasulullah sendiri bersabda, bahwasannya Kita harus mengamalkan ilmu yang sudah kita peroleh.
Kekurangan dan kelemahan manusia pasti ada. Oleh karena itu, penulis meminta kepada saudara-saudari, terlebih kepada bapak dosen pembimbing mata kuliah Fiqih Muamalat I untuk mengkritik dan menyarankan dalam penulisan maupun penyusunan makalah ini ke penyusunan yang lebih baik dan sempurna dari sebelumnya.


Penulis,



(Wahyudi)




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I
PENDAHULUAN 3
I.1. Latar Belakang 3
I.2. Perumusan Masalah 3
BAB II
PEMBAHASAN 4
II.1. Pengertian 4
II.2. Hukum Jual Beli 5
II.3. Rukun Jual Beli 7
II.4. Khiyar 8
II.5. Berselisih Dalam Jual Beli 10
II.6. Lelang (Muzayadah) 10
II.7. Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli 11
II.8. Hikmah Jual beli 11
BAB III
PENUTUP 13
III.1. Kritik dan Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14



BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Kehidupan dalam bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli.
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi.
Tidak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat, melalaikan aspek ini sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau haram menurut syariat Islam.

I.2. Perumusan Masalah
 Apa saja yang menjadi suatu proses dalam kegiatan bermuamalah yakni jual beli dalam pandangan islam yang telah merujuk kepada Al-qur’an & Hadits.
 Membahas bagaimana aturan yang berlaku supaya kegiatan jual beli (akad jualbeli) dapat dikatakan sah menurut syariat islam.
 Hukum jual beli dan kaitannya dengan riba, karena jual beli dapat menjadi hal yang tidak halal lagi atau ada unsur riba di dalamnya. 



BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Pengertian
Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (menukarkan). Dan kata Al-Bai’ (jual) dan Asy-Syiraa (beli), dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang sau sama lain bertolak belakang.
Menurut pengertian syariat, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (agar tebedakan dengan jual beli terlarang). Sedangkan dalam buku ‘Fiqih Islam’ pada bab Kitab Muamalat, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).
Orang yang terjun ke dunia usaha,berkewajiban mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak. Hal ini dimaksudkan agar muamalat berjalan sah dan segala sikap atau tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan.
Firman Allah SWT:



Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli. Jual beli adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi dari jual beli. Pasar dapat timbul manakala terdapat penjual yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhana tersebut lahirlah sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.
Namun, seperti apakah konsep jual beli tersebut yang dibolehkan dan sesuai dengan pandangan Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita perlu melihat batasan-batasan dalam melakukan aktivitas jual beli. Al-Omar dan Abdel-Haq (1996) menjelaskan perlu adanya kejelasan dari obyek yang akan dijualbelikan. Kejelasan tersebut paling tidak harus memenuhi empat hal.
1. mereka menjelaskan tentang lawfulness. Artinya, barang tersebut dibolehkan oleh syariah Islam. Barang tersebut harus benar-benar halal dan jauh dari unsur-unsur yang diharamkan oleh Allah. Tidak boleh menjual barang atau jasa yang haram dan merusak.
2. masalah existence. Yaitu Obyek dari barang tersebut harus benar-benar nyata dan bukan tipuan. Barang tersebut memang benar-benar bermanfaat dengan wujud yang tetap.
3. delivery. Artinya harus ada kepastian pengiriman dan distribusi yang tepat. Ketepatan waktu menjadi hal yang penting disini.
4. precise determination. Yaitu Kualitas dan nilai yang dijual itu harus sesuai dan melekat dengan barang yang akan diperjualbelikan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan pada saat promosi dan iklan.
Dari keempat batasan obyek barang tersebut kemudian kita perlu melihat bagaimanakah konsep kepemilikan suatu produk dalam Islam. Al-Omar dan Abdel-Haq (1996) juga menjelaskan bahwa konsep kepemilikan barang itu adalah mutlak milik Allah yang terdapat dalam surah Al-Hadid: 7. Semua yang ada di darat, laut, udara, dan seluruh alam semesta adalah kepunyaan Allah. Manusia ditugaskan oleh Allah sebagai khalifah untuk mengelola seluruh harta milik Allah tersebut dan kepemilikan barang-barang yang menyangkut hajat hidup harus dikelola secara kolektif dengan penuh kejujuran dan keadilan.

II.2. Hukum Jual Beli
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma serta Qiyas. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah: 275 “dan Allah menghalalkan jual beli…”
Dan Nabi SAW berabda: “dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduanya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya, maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuau yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki.
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Jual beli umum
2) Jual beli As-Sharf (money changer)
3) Jual beli muqayadhah
b. Berdasarkan Standardisasi Harga
1) Jual beli Bargainal (tawar menawar)
2) Jual beli amanah, dengan dasar ini jual beli terbagi menjadi 3 jenis:
- Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui
- Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui
- Jual beli tauliyah, yitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian
- Cara pembayaran (jual beli kontan, jual beli nasi’ah, jual beli dengan penyerahan barang tertunda, jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.


II.3. Rukun Jual Beli
1. Penjual dan Pembeli
Syaratnya adalah:
a) Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang gila tidak sah jual belinya.
b) Dengan kehendak sendiri, tidak karena dipaksa atau suka sama suka.
c) Tidak mubazir (pemboros)
d) Balig

2. Uang dan Benda yang dibeli
Syaratnya adalah:
a) Suci,
b) Ada manfaatnya
c) Barang itu dapat diserahkan
d) Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli
3. Lafadz Ijab dan Kabul
Dalam ijab Kabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, Karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri.
Yang diperlukan adalah saling rela (ridho), direalisasikan dalam bentuk mengambil dan member atau cara lain yang dapat menunjukkan keridhaan dan berdasarkan makna pemilikkan dan mempermilikkan. Seperti ucapan penjual: aku jual, aku berikan, aku milikkan atau ini menjadi milikmu dan ucapan si pembeli: aku beli, aku ambil, aku terima, aku rela atau ambillah harganya.
Akad juga sah dengan bahasa isyarat yang dipahami dari orang bisu. Karena isyarat bagi orang bisu merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam jiwanya tak ubahnya ucapan bagi orang yang dapat berbicara. Bagi orang bisu dapat berakad dengan tulisan, sebagai ganti dari bahasa isyarat, ini jika si bisu dapat memahami baca tulis.
II.4. Khiyar
Khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara, yaitu melangsungkan jual beli atau mengurungkannya. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemashlahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari lantaran merasa tertipu. Khiyar ada 3 macam, yaitu:
a. Khiyar majelis
Artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Khiyar majelis diperbolehkan dalam segala macam jual beli.
Sabda Rasulullah SAW:



“dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Bagi tiap-tiap pihak dari kedua pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam kaitan pengertian bercerai dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Albaihaqqi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Aku pernah menjual kekayaanku yang ada di Wadi (lembah) dengan Amirulmukminin Utsman yang hartanya ada di Khaibar. Setelah Kami melangsungkan jual beli, Aku keluar mundur ke belakang dari rumahnya, Aku takut kalau-kalau ia mengembalikan jual beli. Menurut sunnah, bahwa kedua belah pihak yang melakukan jual beli boleh khiyar sebelum berpisah.
Seperti inilah yang dianut oleh Jumhur sahabat dan tabi’in. Dari kalangan Ulama, Asy-syafi’I dan Ahmad paham ini mereka mengatakan:
Sesungguhnya khiyar majelis itu beralasan baik dalam jual beli, shulh (perjanjian damai), hiwalah (tukar menukar) maupun ijarah (sewa menyewakan), dan semua jenis akad pertukaran yang lazim dalam urusan harta.
Adapun akad lazim yang bukan bermotifkan ganti seperti akad perkawinan dan perceraian, untuk jenis ini khiyar tidak berlaku.

b. Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang di dalamnya syaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp100.000.000,- dengan syarat khiyar selama 3 hari.
Rasulullah SAW bersabda:




“kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam.”( H.R. Baihaqi dan Ibnu Majjah).
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari meraka. Tetapi kalau kedua duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pemilik mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk menuruskan jual beli atau tidaknya, hendak lah dengan lafadz yang jelas menunjukkan terus atau tidak nya jual beli.
c. Khiyar ‘Aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda benda yang dibeli, seperti seorang berkata : “ saya beli mobil itu mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan ”, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ari ‘Aisyah R.A bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri didekatnya, didapatinya pada budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan pada penjual itu.
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada ditangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uang nya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi, umpamanya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambing nya sudah mati, atau yang dibeli tanah, sedangkann tanah itu sudah diwakafkan nya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang di beli nya ada kecacatan, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.

II.5. Berselisih Dalam Jual Beli
Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, berterus terang, dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah SAW bersabda:


“Bersumpah dapat mempercepat lakunya degangan, tetapi dapat menghilangkan barokah” (HR Bukhari Dan Muslim).
Para pedagang jujur, benar, dan sesuai dengan ajaran islam dalam berdagang nya didekatkan dengan para nabi, para sahabat dan orang orang yang mati syahid pada hari kiamat.
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan ialah kata kata yang punya barang, bila antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah SAW bersabda:”Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenakan adalah perkataan yang punya barang atau di batalkan.”(HR Abu Dawud).
II.6. Lelang (Muzayadah)
Penjualan dengan cara lelang disebut muzayadah. Penjualan seperti ini dibolehkan oleh agama islam, karena dijelaskan dalam keterangan:
“Dari Annas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW. Menjual sebuah pelana dan sebuah mangkok air dengan berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini? Seorang laki-laki menyahut: aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu nabi berkata lagi, siapa yang berani menambahi? Maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadia.” (HR. Tirmidzi)
II.7. Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
a. Berkaitan dengan objek
1) Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
2) Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.
3) Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual.
b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
1) jual beli yang mengandung riba
2) Jual beli yang mengandung kecurangan.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.
II.8. Hikmah Jual beli
Allah dalam menjadikan setiap peraturan ciptaannya penuh dengan hikmah, Begitu juga dengan pensyariatan jual beli. Adapun hikmah pensyariatan jual beli adalah sebagai berikut:

a. Individu
1) Penjual
- Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah dengan mengikut apa yang telah disyariatkan,
- Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya khianat mengkhianati antara satu sama lain.
2) Pembeli
- Berpuas hati di atas urusniaga yang dijalankan karena peniaga menjalankan urusan mengikut syariat islam,
- Mendapat keridhaan dan rahmat dari Allah di atas urusan niaga yang berlandaskan syariat Islam,
- Terhindar daripada siksaan api neraka.
b. Masyarakat
- Menyenangkan manusia bertukar-tukar faedah harta dalam kehidupan sehari-hari,
- Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh mencerobohi dalam usaha memiliki harta,
- Menggalakkan orang ramai supaya hidup berperaturan, bertimbang rasa, jujur dan ikhlas.
c. Negara
- Meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ke tahap yang lebih baik,
- Menggalakkan persaingan ekonomi yang sehat sesama negara islam.



BAB III
PENUTUP

Dengan adanya pembahasan yang telah penulis susun, mudah-mudahan menjadi bahan bacaan kita, supaya bagaimana kita sama-sama dapat mengintropeksi diri dalam bermuamalah yang sesuai dengan syariat islam, yang tentunya merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Telah kita ketahui betapa pentingnya interaksi antara satu dengan yang lainnya, salah satunya yaitu bermuaalah dengan jual beli. Karena kita pasti tidak pernah terlepas dari kegiatan ini yang selalu mengelilingi dalam kehihupan kita sehari-hari.
Mudah-mudahan dengan adanya pelajaran muamalah ini, menjadi suatu aspek bagaimana kita selaku seorang muslim yang beriman haruslah berhati-hati dalam bertansaksi, terlebih kita calon praktisi ekonomi islam yang tidak pernah luput dengan pasar.
III.1. Kritik dan Saran
Manusia dalam berbuat tentunya terdapat kesalahan yang sifatnya tersilap dari yang telah ditetapkan atau seharusnya. Apalagi dalam kegiatan menyusun makalah ini. Untuk itu, penulis harapkan dari pembaca, khususnya kepada bapak pembimbing pembawa materi kuliah yaitu bapak M. Syahrial, MA mohon kritik dan sarannya guna perbaikkan penyusunan selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Hendy Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah. 2002
H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam. Pada bab kitab muamalah.
http://warnetdipo.blogspot.com/2009/01/. pengertian-jual-beli.html
http://www.geocities.com/dmgto/. Jual beli dalam pandangan Islam.
LUKMAN HAKIM ABDULLAH, jualbelisewa-islam.blogspot.com/2008/11/hikmah jual beli.html.
Muhammad imaduddin, Jual beli dalam pandangan islam, dalam website www.pesantren virtual.com, Markfield Institute of Higher Education (MIHE).2006. yang telah mengambil dari: Al-Omar, Fuad. dan Abdel-Haq, Mohammed. 1996. Islamic Banking. Theory, Practise, and Challenges. Karachi: Oxford University Press.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12 (Bandumg: Al-Ma’arif, 1987)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon berkomentar dengan kata-kata yang baik, terima kasih...